Selasa, 06 Januari 2009

Syukuran Usia ke-80 Romo Tan


Cacing bagi sebagian orang dianggap menjijikkan, kotor dan tidak bermanfaat. Lain halnya dengan Pastor F.X. Tan Soe Ie, SJ. Kotoran dari cacing justru dimanfaatkan. Untuk apa? Segala bahan alami yang busuk (organik) masuk dalam perut cacing, dicernakan dan dikeluarkan lagi berbentuk butiran-butiran halus, berwarna kehitam-hitaman dan beraroma sedap seperti tanah. Kotoran cacing bercampur lendir dan air liurnya menjadi pupuk organik yang sangat berkhasiat bagi segala macam tanaman. Pupuk seperti ini diberi nama kascing. Usaha ini dirintis Romo Tan, panggilan akrabnya, sejak 2004. Romo Tan dibantu 7 orang pegawai. Dalam satu minggu usaha ini menghasilkan 15-20 ton pupuk kascing. Siapa romo Tan?
Dia lahir di Gowongan, Jogjakarta, 16 Desember 1928. Anak ke-4 dari pasutri Tan Kiem Gwan dan Nyoo Gwat Nio ini ditahbiskan menjadi imam Yesuit pada tahun 1963. Tahun 1965-1969 Romo Tan menjadi pamong di Seminari Mertoyudan. Romo Tan juga pernah bertugas di beberapa paroki. Diantaranya, Paroki Baciro, Jogjakarta tahun 1970-1978. Paroki Santa Maria, Tangerang tahun 1978-1986. Setelahnya selama lebih dari 17 tahun ia bertugas di Dare, 60 km dari Dili Timor Timur. Disana ia merintis kader petani lewat Pusat Latihan Wiraswasta Pertanian (PUSLAWITA).

Sejak 2003 hingga kini ia tinggal di dusun Ponggol, desa Harjobinangun, Kecamatan Pakem sekitar 20 km arah utara dari kota Jogjakarta. Romo Tan memimpin sekitar 500 umat Katolik di Stasi Santo Ignatius Ponggol, Pakem. Karya lainnya, ia membangun bumi perkemahan di dusun Sumber Boyong, desa Candibinangun, Pakem. Usaha ini dibangun guna menghidupkan perekonomian warga sekitar. “Dengan adanya perkemahan ini, tentu banyak anak sekolah dan lainnya yang berkemah disini. Kehadiran mereka akan memberi kesempatan kepada warga sekitar untuk membuka peluang usaha,” demikian Romo Tan.
Untuk mengucapkan syukur atas usia yang ke-80, pada 27 Desember 2008 dirayakan Misa Syukur, mengambil tempat di kapel Stasi St Ignatius Ponggol, Pakem. Misa dipimpin langsung Romo Tan. Tak kurang 200 umat hadir. Selesai Misa, di Bumi Perkemahan Sumber Boyong diselenggarakan syukuran, sarasehan dan makan bersama. Hadir umat Stasi St Ignatius, juga warga masyarakat lainnya dari dusun itu. Hadir pula puluhan umat dari Lingkungan Santa Bernadette IV, Paroki St Yakobus, Kelapa Gading, Jakarta Utara. Aneka makanan tradisional seperti nasi liwet, lontong sayur, kacang rebus, wedang ronde menjadi hidangan khas malam itu. “Itu atas permintaan beliau. Bersyukur dalam kesederhanaan,” demikian salah seorang panitia menjelaskan. Dalam pesannya, Romo Tan menyampaikan salam damai untuk semua yang hadir. Beliau mengucapkan terima kasih terutama kepada warga masyarakat sekitar yang menerima kehadirannya selama lebih dari 5 tahun. Beliau juga berharap rasa persaudaraan yang ada di desa itu terus dijaga.

Pak Suparmin, mewakili warga sekitar mengharapkan kerukunan antar pemeluk agama di desa itu tetap terus dijaga. Ia juga mengucapkan terima kasih atas peran serta Romo Tan dalam ikut membangun taraf hidup masyarakat sekitar. Misalnya pemberian bantuan pipa-pipa saluran air. “Dengan dibukanya bumi perkemahan di dusun ini, warga dapat menjual salak hasil budidaya warga setempat, juga memberi pemasukan kas RW setempat seperti dari perpakiran dll,” demikian Suparmin. Mewakili umat Lingkungan Santa Bernadette IV, Paroki St Yakobus, Kelapa Gading, Jakarta Utara, JI Andilolo dan Sudjio Pranoto menyampaikan kesan dan harapannya. “Teladan Romo Tan hendaknya dapat memberi inspirasi semua pihak untuk tetap mengedepankan kepentingan orang banyak. Hidup rukun dalam kebhinekaan dan tetap semangat membangun masyarakat yang tinggal jauh dari kota besar,” Pada penutup acara, diputarkan film “Pemanasan Global”.

Sabtu, 30 Agustus 2008

Kota Muntilan dan Bapak Kardinal

Minggu, 29 Juni 2008, Uskup Agung Jakarta, Kar­dinal Julius Darmaatmadja SJ (74 tahun) merayakan pesta perak (25 tahun) tahbisannya sebagai uskup. Bagi Bapak Kardinal, Muntilan punya kenangan khusus. Bukan hanya karena ia dilahirkan di kota ini. Berikut petikan wawancara majalah "HIDUP" dengan beliau.
Bagaimana Muntilan merupakan tempat yang menentukan arah hidup Bapak Kar­dinal?. Muntilan tempat saya lahir, merupakan tem­pat penting dalam misteri hidup saya ini, ter­lebih berkaitan dengan panggilan saya menjadi imam. Pertama,Muntilan adalah tempat yang me­nentukan bagi ayah saya untuk menjadi Ka­tolik. Pastor Frans van Lith SJ memilih men­dirikan sekolah guru di Muntilan, dan lewat sekolah guru ini beliau bercita-cita mendidik calon tokoh Katolik di tengah masyarakat. Memang profesi guru sangat terhormat dan ter­pandang, menjadi panutan tidak hanya bagi para muridnya tetapi juga masyarakat seki­tarnya. Kalau ada guru-guru Katolik di tengah masyarakat, pasti besar pengaruhnya bagi perkembangan Gereja. Pastor van Lith mencari murid-muridnya lewat kunjungan ke Lurah atau Kepala desa di sekitar Muntilan. Apakah juga sudah diperhi­tungkan bahwa anak-anak Lurah atau anak saudara-saudara Lurah sudah merupakan bibit unggul agar dapat dikembangkan di
pendidikan guru itu, saya tidak tahu. Tetapi, yang terjadi, Pastor van Lith mengunjungi kakek dari ayah saya yang pada waktu itu menjadi Lurah. Ayah saya dekat dengan kakeknya. Tidak mengherankan ketika kakek ayah saya di­kunjungi oleh Pastor van Lith dan mendapat penjelasan mengenai sekolah calon guru yang diselenggarakan di Muntilan, dengan senang hati ayah saya didaftarkan ke sana. Setelah mengikuti pendidikan beberapa ta­hun, akhirnya ayah saya minta dibaptis. Ini­lah jalan-jalan awal Tuhan menghendaki ayah saya menjadi Katolik untuk kemudian membangun keluarga Katolik di mana saya dilahirkan. Kedua,Muntilan juga menjadi tempat pen­ting di mana saya memutuskan untuk menjadi imam dan masuk Seminari Menengah di Jl Code Yogyakarta, sebelum pindah ke Merto­yudan setelah dibangun kembali dari rerun­tuhan pada tahun 1952. Memang banyak anak guru tamatan pendidikan Muntilan yang men­jadi seminaris waktu itu. Tentu tidak semua dapat melanjutkan
sampai selesai. Tetapi, ke­tika saya sendiri sudah di seminari, di kom­pleks perumahan guru itu ada lebih dari lima siswa seminari, dengan jenjang pendidikan yang berbeda. Saya termasuk yang terlambat bergabung. Yang lain sudah sejak tamat SD lalu masuk seminari. Setelah SMP, saya baru masuk Seminari Menengah. Saya belum terta­rik sebelumnya.
Saat istirahat, kami siswa-siswi kelas III mengunjungi gereja di dekatnya dan berdoa, saya lama-kelamaan menyadari tidak terta­rik untuk sekolah ke SMA supaya dapat ke Universitas, juga tidak tertarik pada teman yang akan ke SGA, Sekolah Analis. Sampai saya juga bingung sendiri mau melanjutkan ke mana? Lama-kelamaan muncul bayangan untuk menjadi imam. Ini yang bertahan dan makin menarik. Sekarang, kalau saya mengenang hal itu, saya berpikir, Tuhan menutup dulu ke­inginan saya melanjutkan ke mana-mana, baru kemudian membuka keinginan menjadi imam.
Muntilan adalah tempat penting bagi hi­dup saya sebagai calon imam. Bukan karena Muntilan itu sendiri, melainkan karena di Muntilan hadirlah rahmat Allah yang me­nentukan saya masuk ke jalan imamat. Ayah saya dibaptis di situ, dan di situ pula saya mengambil arah awal yang ternyata tidak hanya menuju imamat, bahkan menjadi Uskup dan Kardinal. Setelah saya menjadi seminaris dan menjadi imam, kerap dicerita­kan peristiwa ini. Ketika saya masih di TK, saya sakit malaria tropika dan dirawat di Rumah Sakit Muntilan yang dikelola oleh para suster OSF. Mgr Albertus Soegijapranata SJ mengunjungi rumah sakit diantar seorang suster memberkati semua yang beragama Katolik. Saya pun diberkati secara cepat sampai saya tidak tahu bahwa sudah diberkati. Maka, saya menangis dan minta supaya diberkati. Ternyata, Mon­sinyur berkenan datang lagi untuk memberkati saya secara khusus. Mungkin karena beliau kenal baik dengan ayah saya, maka berkenan mengulangi berkatnya.
Entah beliau, berdoa apa waktu itu untuk saya. Cerita burung men­gatakan bahwa ketika masih kecil, kalau ditanya mau menjadi apa, katanya saya men­jawab mau jadi biskop atau uskup. Muntilan, bagi saya, menjadi tempat Allah melimpahkan rahmat-Nya, menuntun langkah hidup saya.
(Majalah ”HIDUP” No 26 Tahun ke-62, 29 Juni 2008)

YSS

Selasa, 29 Juli 2008

Bertemu Romo Tan di Dusun Ponggol, Jogjakarta


Untuk suatu keperluan di sekitar Jogjakarta, Solo dan Klaten, saya bersama beberapa rekan berada di tiga kota itu sejak 11 hingga 16 Juli 2008. Sabtu, 12 Juli sore hari kami sempatkan datang ke dusun Ponggol, Pakem Jogjakarta. Dusun yang sekitar 20 km jauhnya dari pusat kota Jogjakarta (Malioboro) kami tempuh sekitar 30 menit. Apa yang menarik kami sehingga datang ke dusun itu? Dari seorang teman saya pernah mendapat informasi, bahwa disana tinggal seorang pastor yang berkarya bersama para petani. Melakukan budidaya ”ternak” cacing.
Sesampainya di dusun itu, tepatnya di halaman rumah yang juga terdapat kapel Santo Ignatius, kami mengetuk pintu pagar besi. Wah yang keluar seekor anjing besar. Menggongong kami. Tak lama kemudian keluar seorang bapak yang tak lain Romo FX Tan Soei Ie, SJ. Sebelum mempersilahkan kami masuk, romo Tan, panggilan akrabnya, membawa anjing tadi untuk dimasukkan ke dalam kandangnya. Rupanya ia tahu kami takut dengan anjing besar peliharaanya itu.
Setelahnya kami dipersilahkan masuk. Di halaman yang asri dan udara yang dingin, kami duduk di rumah bambu. Tanpa basi-basi, romo mulai membuka pembicaraan. ”Dari mana anda ini. Apa maksud kedatangan kami?”. Kamipun menjelaskan tentang ketertarikan kami atas karya romo di dusun ini. Mulailah romo bercerita. Dari soal cacing, pertanian, keadaan negara, perkembangan Gereja dan yang lainnya.
Jam 17.30 romo akan memimpin Misa, maka kamipun pamitan. Sebelum pulang romo memanggil pembantunya untuk mengantar kami ke lokasi peternakan cacing. Jarak dari tempat tinggal romo sekitar 1 km. Sesampainya di lokasi, kami memperoleh keterangan dari pembantunya. Bahwa di atas tanah yang sedang kami lihat ada sekitar 3000 m2, dibuat 8 rumah dari bambu dengan luas masing-masing rumah sekitar 30-40m2. Di situlah romo bersama para pembantunya berkarya. Berternak cacing untuk kepentingan petani dan pertanian.
Karena belum puas untuk mendengar cerita lain dari romo Tan, kami mengusulkan untuk dapat bertemu kembali dengannya. Waktunya besok, 13 Juli dan sambil makan malam. Romo setuju.

Esok harinya, 13 Juli jam 18.00 tepat kami menjemput romo. Acaranya makan bersama di Rumah Makan Pakem Sari, Pakem Jogjakarta. Dengan pakaian sangat sederhana dibungkus jaket warna krem romo dan kami berangkat ke restoran Pakem Sari. Perlu waktu 10 menit untuk sampai ke rumah makan itu. Cerita “babak kedua” dimulai lagi. Diselingi guyononnya yang segar. Dari makan malam ini saya lebih mengenal romo Tan.
Lahir di Gowongan, Jogjakarta pada 16 Desember 1928 dengan nama Tan Soei Ie. Di usianya yang ke tigapuluhlima, tepatnya tahun 1963, ditahbiskan menjadi imam Yesuit, setelah mengikuti pendidikan imam di Filipina.
Tujuh tahun memimpin Paroki Baciro Jogjakarta. Sembilan tahun Paroki Tangerang.
Tahun 1985 sampai 2002, bertugas di Timor Timur. Mendampingi kaum petani disana.
Bersemangat ketika bicara kerusuhan Mei 1998, kepedulian Gereja akan nasib bangsa. Akan nasib petani. Dan tentu soal cacing
Menguasai 5 bahasa. Bahasa Indonesia, Inggris, Belanda, Latin, Tetum (Timor Timur), Yunani. Dan tentu saja Jowo. Senang dengan bahasa.
Kini ia tinggal di dusun Ponggol Pakem, Jogjakarta. Memimpin lebih dari 500 umat di stasi St Ignatius, Pakem. Juga memimpin 7 orang pegawai pada usaha ternak cacingnya. Dalam berbagai kesempatan, ia mengajak orang termasuk para petani untuk menghargai karya para petani. ”Kepada anak-anakmu, ajaklah mereka juga untuk ikut menjadi petani di desa,” demikian sering ia memberi wejangan kepada para petani di dusun Ponggol.
Sebelum pulang kami ajak kembali romo untuk makan bersama kami. Waktunya besok malam, 14 Juli 2008. Ya.. sambil perpisahan dengannya. Romo setuju bahkan mengusulkan untuk masak di rumahnya. Tapi karena beberapa pertimbangan, akhirnya kami putuskan untuk membawa masakan matang ke rumah romo.

Senin, 14 Juli jam 17.30 kami telah tiba kembali di rumah romo. Membawa masakan matang untuk makan bersama romo. Sebelum acara makan malam bersama, saya dan beberapa teman keliling rumah romo. Mengambil foto-foto mulai dari halaman rumah yang asri, ruang kerja, ruang tamu, perpustakaan kecilnya.
Makan malam itu sungguh berkesan. Makan bersama romo dan stafnya. Dengan nyala lilin yang biasanya dipakai untuk Misa, kami ngobrol sana-sini. Mulai dari keperihatinan romo atas kepedulian Gereja dengan kondisi saat ini, tradisi Gereja yang mulai luntur dan masih banyak lagi. Makan malam ditutup dengan doa.

Saat romo bertanya kapan kami pulang ke Jakarta. Kamipun mengatakan Rabu 16 Juli 2008. ”Nanti saya iringi perjalanan anda semua dengan nyala lilin sebagai tanda doa bagi perjalanan anda pulang kembali ke Jakarta,” demikian romo menjelaskan. Sungguh pengalaman yang berkesan buat kami. Bertemu dengan pastor yang sederhana, apa adanya, kritis dan tegas dalam berpendirian.
Dua hari kemudian, tentu dengan seijinnya, saya bangun weblog www.pastorpedulipetani.blogspot.com
Siapa tahu ada gunanya. Paling tidak untuk anda yang mau lebih mengenalnya.

yss

Jumat, 13 Juni 2008

Menanti Kedatangannya Kembali


Menuju Pertobatan Total

Jangan Katakan : Bapa, kalau kamu tidak berlaku sebagai anak.
Jangan Katakan : Kami, kalau hidupmu penuh egoisme.
Jangan Katakan : Yang ada di surga, kalau kamu hanya pikirkan perkara duniawi.
Jangan Katakan : Dimuliakanlah namaMu, kalau kamu tidak menghormati Allah semestinya.
Jangan Katakan : Datanglah kerajaanMu, kalau yang kau maksudkan adalah keberhasilan duniawi.
Jangan Katakan : Jadilah kehendakMu, kalau yang kau lakukan hanya yang kau inginkan.
Jangan Katakan : Berilah kami rejeki, kalau kamu tidak peduli terhadap orang lapar.
Jangan Katakan : Ampunilah kesalahan kami, kalau kamu dendam terhadap sesama.
Jangan Katakan : Jangan masukkan kami ke dalam percobaan, kalau kamu tidak berniat berhenti berdosa.
Jangan Katakan : Bebaskanlah kami dari yang jahat, kalau kamu tidak tegas menolak kejahatan.
Jangan Katakan : AMIN, kalau kamu tidak serius menanggapi doa Bapa Kami.