Minggu, 29 Juni 2008, Uskup Agung Jakarta, Kardinal Julius Darmaatmadja SJ (74 tahun) merayakan pesta perak (25 tahun) tahbisannya sebagai uskup. Bagi Bapak Kardinal, Muntilan punya kenangan khusus. Bukan hanya karena ia dilahirkan di kota ini. Berikut petikan wawancara majalah "HIDUP" dengan beliau.
Bagaimana Muntilan merupakan tempat yang menentukan arah hidup Bapak Kardinal?. Muntilan tempat saya lahir, merupakan tempat penting dalam misteri hidup saya ini, terlebih berkaitan dengan panggilan saya menjadi imam. Pertama,Muntilan adalah tempat yang menentukan bagi ayah saya untuk menjadi Katolik. Pastor Frans van Lith SJ memilih mendirikan sekolah guru di Muntilan, dan lewat sekolah guru ini beliau bercita-cita mendidik calon tokoh Katolik di tengah masyarakat. Memang profesi guru sangat terhormat dan terpandang, menjadi panutan tidak hanya bagi para muridnya tetapi juga masyarakat sekitarnya. Kalau ada guru-guru Katolik di tengah masyarakat, pasti besar pengaruhnya bagi perkembangan Gereja. Pastor van Lith mencari murid-muridnya lewat kunjungan ke Lurah atau Kepala desa di sekitar Muntilan. Apakah juga sudah diperhitungkan bahwa anak-anak Lurah atau anak saudara-saudara Lurah sudah merupakan bibit unggul agar dapat dikembangkan di
pendidikan guru itu, saya tidak tahu. Tetapi, yang terjadi, Pastor van Lith mengunjungi kakek dari ayah saya yang pada waktu itu menjadi Lurah. Ayah saya dekat dengan kakeknya. Tidak mengherankan ketika kakek ayah saya dikunjungi oleh Pastor van Lith dan mendapat penjelasan mengenai sekolah calon guru yang diselenggarakan di Muntilan, dengan senang hati ayah saya didaftarkan ke sana. Setelah mengikuti pendidikan beberapa tahun, akhirnya ayah saya minta dibaptis. Inilah jalan-jalan awal Tuhan menghendaki ayah saya menjadi Katolik untuk kemudian membangun keluarga Katolik di mana saya dilahirkan. Kedua,Muntilan juga menjadi tempat penting di mana saya memutuskan untuk menjadi imam dan masuk Seminari Menengah di Jl Code Yogyakarta, sebelum pindah ke Mertoyudan setelah dibangun kembali dari reruntuhan pada tahun 1952. Memang banyak anak guru tamatan pendidikan Muntilan yang menjadi seminaris waktu itu. Tentu tidak semua dapat melanjutkan
sampai selesai. Tetapi, ketika saya sendiri sudah di seminari, di kompleks perumahan guru itu ada lebih dari lima siswa seminari, dengan jenjang pendidikan yang berbeda. Saya termasuk yang terlambat bergabung. Yang lain sudah sejak tamat SD lalu masuk seminari. Setelah SMP, saya baru masuk Seminari Menengah. Saya belum tertarik sebelumnya.
Saat istirahat, kami siswa-siswi kelas III mengunjungi gereja di dekatnya dan berdoa, saya lama-kelamaan menyadari tidak tertarik untuk sekolah ke SMA supaya dapat ke Universitas, juga tidak tertarik pada teman yang akan ke SGA, Sekolah Analis. Sampai saya juga bingung sendiri mau melanjutkan ke mana? Lama-kelamaan muncul bayangan untuk menjadi imam. Ini yang bertahan dan makin menarik. Sekarang, kalau saya mengenang hal itu, saya berpikir, Tuhan menutup dulu keinginan saya melanjutkan ke mana-mana, baru kemudian membuka keinginan menjadi imam.
Muntilan adalah tempat penting bagi hidup saya sebagai calon imam. Bukan karena Muntilan itu sendiri, melainkan karena di Muntilan hadirlah rahmat Allah yang menentukan saya masuk ke jalan imamat. Ayah saya dibaptis di situ, dan di situ pula saya mengambil arah awal yang ternyata tidak hanya menuju imamat, bahkan menjadi Uskup dan Kardinal. Setelah saya menjadi seminaris dan menjadi imam, kerap diceritakan peristiwa ini. Ketika saya masih di TK, saya sakit malaria tropika dan dirawat di Rumah Sakit Muntilan yang dikelola oleh para suster OSF. Mgr Albertus Soegijapranata SJ mengunjungi rumah sakit diantar seorang suster memberkati semua yang beragama Katolik. Saya pun diberkati secara cepat sampai saya tidak tahu bahwa sudah diberkati. Maka, saya menangis dan minta supaya diberkati. Ternyata, Monsinyur berkenan datang lagi untuk memberkati saya secara khusus. Mungkin karena beliau kenal baik dengan ayah saya, maka berkenan mengulangi berkatnya.
Entah beliau, berdoa apa waktu itu untuk saya. Cerita burung mengatakan bahwa ketika masih kecil, kalau ditanya mau menjadi apa, katanya saya menjawab mau jadi biskop atau uskup. Muntilan, bagi saya, menjadi tempat Allah melimpahkan rahmat-Nya, menuntun langkah hidup saya.
(Majalah ”HIDUP” No 26 Tahun ke-62, 29 Juni 2008)
YSS
Sabtu, 30 Agustus 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
visit www.kotamuntilan.co.cc
Posting Komentar