Jumat, 13 Juni 2008

Menanti Kedatangannya Kembali


Menuju Pertobatan Total

Jangan Katakan : Bapa, kalau kamu tidak berlaku sebagai anak.
Jangan Katakan : Kami, kalau hidupmu penuh egoisme.
Jangan Katakan : Yang ada di surga, kalau kamu hanya pikirkan perkara duniawi.
Jangan Katakan : Dimuliakanlah namaMu, kalau kamu tidak menghormati Allah semestinya.
Jangan Katakan : Datanglah kerajaanMu, kalau yang kau maksudkan adalah keberhasilan duniawi.
Jangan Katakan : Jadilah kehendakMu, kalau yang kau lakukan hanya yang kau inginkan.
Jangan Katakan : Berilah kami rejeki, kalau kamu tidak peduli terhadap orang lapar.
Jangan Katakan : Ampunilah kesalahan kami, kalau kamu dendam terhadap sesama.
Jangan Katakan : Jangan masukkan kami ke dalam percobaan, kalau kamu tidak berniat berhenti berdosa.
Jangan Katakan : Bebaskanlah kami dari yang jahat, kalau kamu tidak tegas menolak kejahatan.
Jangan Katakan : AMIN, kalau kamu tidak serius menanggapi doa Bapa Kami.

Kamis, 12 Juni 2008

Julius Kardinal Darmaatmadja SJ: Sang Nelayan Penjaring


Kardinal Indonesia yang juga Anggota Dewan Kepausan untuk Dialog Antar Umat Beragama ini terpanggil dan terpilih sebagai nelayan penjaring: "Atas perintahMu, kutebarkan jalaku." Ia juga melayani sebagai Uskup Agung Jakarta. Pastor kelahiran Jagang, Muntilan, 20 Desember 1934, ini menyukai warna serba biru yang melambangkan warna damai. "LIFE goes on", begitu kata orang Inggris. Memang, kehidupan terus berjalan dan berjalan. Seiring dengan perjalanan kehidupan, berbagai peristiwa mengisi dan mewarnai kehidupan itu sendiri. Hal itu pula yang menghiasi perjalanan hidup Julius Kardinal Monsinyur Rijadi Darmaatmadja SJ, Uskup Agung Jakarta, yang sudah lebih dari 70 tahun. JULIUS adalah nama tambahan sebagai seorang Katolik. Rijadi, nama kecil saat lahir di Salam, Jawa Tengah, 20 Desember 1934. Kardinal adalah jabatan konsultatif sejak dilantik 27 November 1994 di Roma oleh Paus Yohanes Paulus II. Monsinyur adalah panggilan untuk pemegang jabatan uskup (sebagai Uskup Agung Semarang 1983-1996, dan Uskup Agung Jakarta 1996-sekarang). Darmaatmadja, nama kedua orangtuanya, pasangan Joachim Djasman Djajaatmadja dan Maria Siti Soepartimah. SJ atau Serikat Jesus, sebab dia anggota ordo yang didirikan Santo Ignatius de Loyola tahun 1534 itu. Namun, wajah dan postur tubuhnya tidak menunjukkan bahwa dia sudah berusia lebih dari 70 tahun. Motivasi yang tinggi untuk terus berkarya tampaknya menjadi lokomotif yang membuat Kardinal tampak selalu bersemangat bekerja. Karena itu, ketika ditanya sampai kapan akan mengambil jeda dari sebuah perjalanan panjang, Kardinal menyatakan, sama seperti sebelum usia 70 tahun. "Saya menyerahkan sepenuhnya kepada Tuhan, sampai kapan saya bisa menyelesaikan tugas peziarahan saya. Kalau Dia menghendaki saya kuat bekerja, saya akan terus bekerja," ujarnya. Meski demikian, Kardinal amat menyadari, menjadi tua akan disertai munculnya aneka kelemahan. Sebagai orang tua, spiritualitas kerja yang sebelumnya menghiasi kehidupan tidak bisa lagi dijalankan. Spiritualitas kerja itu harus diganti. "Orang yang biasa bekerja, lalu tidak bekerja lagi ketika tua, tentu bingung. Itu biasa. Juga kalau dulu biasa menasihati, sekarang tak ada yang meminta nasihat. Kalau dulu bisa berfungsi terhadap orang lain, lalu tidak berfungsi lagi. Itu semua menjadi perubahan hidup yang harus dihadapi. Maka, sebagai orang tua harus mencari fungsi baru. Di sana ada passio, ada rendah hati, ada pengabdian, ada penyerahan diri. Maka sekarang pun mulai dikembangkan, pendampingan terhadap para orangtua," katanya. Kini, di tengah kesibukannya sebagai pemuka umat Katolik, Kardinal juga sibuk menjalin persaudaraan dengan pemimpin umat yang lain. Ia akrab dengan Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Syafii Maarif; dengan KH Hasyim Muzadi, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU); KH Abdurrahman Wahid, Ketua Umum Dewan Syura Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Nurcholish Madjid, cendekiawan, dan lain-lain. Ia perlu memberi contoh kepada para pastor dan umat Katolik untuk membangun persaudaraan sejati dengan umat yang lain. "Upaya membangun persaudaraan dengan umat lain itu harus kontekstual. Maka para pastor yang berkarya di tengah masyarakat pun harus berkarya dalam pastoral kontekstual. Mulailah dengan berkunjung, saling mengenal. Jalankanlah hidup bertetangga dengan baik. Kalau sudah saling mengenal, lalu saling peduli. Entry point-nya adalah peristiwa-peristiwa keluarga, seperti kelahiran, khitanan, perkawinan, kematian, dan sebagainya," ucapnya. Atas pemahaman itu, tidak mengherankan apabila sebagai pemimpin, Kardinal sering berpesan agar kehadiran umat Katolik di masyarakat menjadi rahmat bagi yang lain. "Ini tidak mudah dijalankan, di tengah pengaruh macam-macam. Menjadi rahmat bagi masyarakat akan menjadi jelas apabila kedatangannya selalu dirindukan oleh orang lain," paparnya. Menyinggung kondisi masyarakat secara umum, Kardinal amat prihatin betapa nilai agama dan iman tidak lagi memengaruhi kehidupan. Orang bisa membunuh seenaknya. Juga nilai budaya tak lagi berdampak pada perilaku. Begitu pula nilai ideologi tak lagi bisa berperan dalam kehidupan bernegara. "Amat disayangkan, ketiga hal itu tidak lagi bisa banyak berperan dalam membangun hidup bermasyarakat dan bernegara. Maka kekuatan agama diharapkan bisa menjadi kekuatan moral guna membangun kembali nilai agama, budaya, dan ideologi dalam hidup bermasyarakat," katanya. Meski demikian, ia enggan menjawab pertanyaan sekitar relasi antar-agama yang didasarkan generalisasi. Masalahnya, begitu banyak hal yang melatar-belakangi berbagai masalah yang ada di masyarakat. Misalnya dikatakan, hubungan antar-agama jelek, sampai saling membunuh. "Bukti ini benar, tetapi ada bukti lain yang juga benar, betapa semua kelompok agama menjalin hubungan dengan amat baik. Ada banyak bukti, saudara-saudara kita yang Muslim mau menjaga gereja agar kita bisa beribadah dengan tenang. Itu pula yang menyebabkan bom yang dikirim ke Katedral beberapa tahun lalu hanya meledak di luar, bukan di dalam gereja," ujarnya menambahkan. Apabila disebut postur tubuhnya tampak lebih muda, itu karena Kardinal berusaha menjaga kebugaran dengan hidup teratur, melakukan relaksasi, termasuk rutin berolahraga "tread mill" setengah jam sehari. Lahir sebagai anak bungsu dari enam saudara keluarga guru, perjalanan panggilan hidup Rijadi lancar-lancar saja. Tamat sekolah menengah pertama (SMP), masuk Seminari Menengah Mertoyudan, novisiat SJ dua tahun di Girisonta, belajar filsafat di Poona, India, teologi di Yogyakarta, dan ditahbiskan sebagai pastor oleh almarhum Kardinal Darmoyuwono tanggal 18 Desember 1969. "Kalau diberi umur panjang, tahun 2009 nanti saya genap 13 tahun berkarya di Keuskupan Agung Jakarta, dan berusia 75 tahun. Selama 13 tahun juga saya sebagai Uskup Agung Semarang (1983-1996). Tuhanlah yang mengatur ini semua," katanya menambahkan.
(Yohannes Sugiyono Setiadi / Sumber KOMPAS, 20 Desember 2004)

Meneladani Santa Bernadette


Hari ini kita keluarga besar Wilayah Santa Bernadette berkumpul di tempat ini untuk memperingati Hari Pelindung Wilayah kita Santa Bernedette. Nama Santa Bernadette kerap kita dengar. Tapi mungkin kita belum terlalu mengenal orang kudus ini. Mari kita simak sekelumit riwayat hidup Santa Bernadette.Marie Bernarde, begitu nama kecil Santa Bernadette, dilahirkan 7 Januari 1844 dari pasangan Francois Soubirous dan Louise Casterot seorang pengusaha penggilingan gandum yang jatuh miskin . Sejak kecil kesehatan Bernadette kurang baik. Ia selalu saja menderita sakit, terutama asma. Dalam penderitaannya, Bernadette tidak banyak mengeluh, tetapi justru mempersembahkan semua penderitaannya kepada Tuhan sebagai silih demi pertobatan. Bagi Bernadette, sakit bukan berarti bebas dari segala tugas dan kewajiban. Ia tetap harus membantu ibunya mengasuh kelima adiknya. Dan ketika Bernadette telah dianggap cukup umur, ia pun harus bekerja sebagai pembantu dan penggembala ternak.Suatu hari, pada 11 Februari 1858, suatu peristiwa yang luar biasa terjadi. Ketika ia bersama seorang adik dan seorang temannya sedang mencari kayu bakar di padang, Bunda Maria menampakkan diri kepadanya di sebuah gua, di tepi sungai, dekat kota Lourdes. Bernadette tidak tahu siapa wanita cantik itu dan apa yang ia inginkan darinya. Sampai dengan 16 Juli 1858, Bunda Maria menampakkan diri kepadanya sebanyak 18 kali. Pada penampakannya yang ke-16, 25 Maret 1858, Bunda Maria mengungkapkan siapa dirinya. “Akulah yang Dikandung Tanpa Dosa"Setelah peristiwa penampakan itu Bernadette semakin banyak menderita, baik karena kecurigaan orang-orang yang tidak mau percaya, tapi juga oleh perhatian berlebihan dari mereka yang percaya serta ancaman dari penguasa setempat. Semua itu ditanggungnya dengan tabah dan sabar.Pada usia 22 tahun, Bernadette menggabungkan diri dengan Tarekat Suster Karitas di Nevers, Perancis. Tiga belas tahun lamanya ia tinggal di biara dan sebagian besar dari waktu tersebut dihabiskannya di tempat tidur karena sakit yang dideritanya. Dalam kondisinya itu, ia tidak bebas dari cemooh dan perlakuan keras para seniornya. Bernadette seorang yang sangat rendah hati. Ia tidak ingin dipuji. Suatu ketika seorang suster bertanya kepadanya apakah ia merasa bangga karena dipilih oleh Bunda Maria. Berrnadette cepat-cepat menjawab, "Bunda Maria memilih saya justru karena saya inilah yang paling hina." Pada tanggal 16 April 1879 dalam usia 35 tahun, Santa Bernadette wafat karena penyakit tuberculosis. Tubuhnya masih utuh hingga kini meskipun ia telah meninggal lebih dari seabad yang lalu. Tanggal wafatnya, 16 April, kini kita rayakan sebagai Pesta Nama Santa Bernadette. Setelah melalui proses yang panjang, tahun 1933, Bernadette dinobatkan sebagai orang kudus (Santa) oleh Paus Pius XI. Ia menjadi Santa bukan karena melihat penampakan Bunda Maria, tapi karena ia dipilih oleh Tuhan untuk menjadi orang yang setia, rendah hati dan tabah.Menjelang penobatannya, Paus membuat pernyataan: “ … maka demi Kemuliaan Tuhan dengan senang hati kami katakan bahwa kehidupan Bernadette dapat disimpulkan dalam tiga hal utama: Bernadette setia pada perutusannya, Bernadette rendah hati dalam kejayaannya dan Bernadette tabah dalam menghadapi segala percobaan” Demikianlah sekelumit riwayat hidup Santa Bernadette, Santa Pelindung Komunitas kita. Mudah-mudahan spiritualitas Santa Bernadette dapat memberi inspirasi atau bahkan menjadi bahan refleksi tanpa akhir dalam tugas perutusan kita, khususnya umat di Wilayah Santa Bernadette ini. Sebagai anggota Gereja, sebagai pengurus Lingkungan atau Wilayah, sebagai anggota keluarga, sebagai anggota masyarakat, sebagai anggota komunitas di tempat kita berkarya, apakah kita tetap teguh dalam iman, rendah hati dalam kejayaan dan tetap berpengharapan dalam menghadapi segala macam percobaan?. Jawab yang dinanti adalah bukan sekedar untaian kata atau wacana, tapi doa dan tindakan nyata. Semoga!
(Yohannes Sugiyono Setiadi / dari berbagai sumber)

Pemberkatan Patung St Andreas Kim Tae Gon


Disaksikan tak kurang seribu umat Katolik Kelapa Gading Jakarta Utara dan perwakilan umat Katolik Korea yang berada di Jakarta, Pastor Paulus Aureli CP didampingi 4 pastor lain pada 22 September 2007 memberkati patung Santo Andreas Kim Tae Gon. Patung ini terletak di depan gedung gereja stasi Santo Andreas Kim Tae Gon (KTG) Kelapa Gading, Jakarta Utara. Stasi KTG adalah pemekaran dari Paroki Santo Yakobus Kelapa Gading.Dalam homilinya Pastor Paulus Aureli CP, yang juga Pastor Kepala di stasi ini, mengulas sedikit tentang riwayat Kim Tae Gon. Dalam usianya yang baru 26 tahun, Kim telah menjadi martir. Kim Tae Gon juga adalah imam pertama di Korea. Kim rela mengorbankan nyawanya untuk sebuah kesaksian iman.Pastor Paulus Aureli CP mengajak umat khususnya di stasi KTG meneladani Kim, baik di lingkungan keluarga, di tengah-tengah masyarakat juga di tempat berkarya. “Berani mewartakan Kasih Kristus dalam keadaan paling sulit sekalipun,” demikian pesannya. JI Andilolo, salah seorang pengurus dewan stasi mengharapkan patung Kim dapat menjadi simbol bagi umat di stasi, agar senantiasa memberi kesaksian hidup sesuai ajaran Kristus. Beliau juga berharap kehadiran paroki baru (Paroki Santo Andreas Kim Tae Gon) nantinya akan dapat memperluas peran gereja dalam ikut membangun masyarakat khususnya di Jakarta ini. Dalam waktu dekat, stasi dengan jumlah delapan ribu umat yang tersebar di tigabelas Wilayah ini akan diresmikan oleh Uskup Agung Jakarta.

Catatan: Santo Andreas Kim Tae Gon, yang dipenggal kepalanya tahun 1846, adalah salah satu dari 103 Martir Korea yang dikanonisasikan oleh Paus Yohanes Paulus II tahun 1984, pada saat peringatan 200 tahun Gereja Katolik Korea. (Mirifica e-News, 26 September 2006). Pesta nama Santo Andreas Kim Tae Gon, diperingati pada 20 September.
Yohannes Sugiyono Setiadi

Sang Gembala 1807 - 2007

1807
• 8 Mei 1807, Mgr Yakobus Nelissen Pr ditunjuk Paus Pius VII menjadi Prefek Apostolik I untuk wilayah Batavia. Pada 22 Juli 1807, bersama Pastor Lambertus Prinsen Pr, Mgr Yakobus Nelissen Pr berangkat dari Texel (Belanda Utara) menuju Batavia. Tiba di Batavia pada 4 April 1808. Keadaan perang memaksa mereka menempuh perjalanan panjang lewat New York dan Afrika Sekatan. Tugas sebagai Prefek Apostolik I di Batavia diemban tahun 1807-1817. Mgr Y Nelissen Pr meninggal 6 Desember 1817.

1817
• Mgr Lambertus Prinsen Pr, menjadi Prefek Apostolik II, menggantikan Mgr Yakobus Nelissen Pr yang meninggal tahun 1817. Tugas itu diemban tahun 1817-1830.

1831
• Mgr Yoannes H Scholten Pr, Prefek III, menggantikan Mgr L Prinsen yang cuti ke Belanda karena sakit (1830) dan tidak kembali lagi. Tugas ini diemban tahun 1830-1842.

1842
• Mgr YH Scholten Pr cuti (karena sakit) ke Eropa, tapi tidak kembali
• 20 September, Paus membentuk Vikariat Apostolik. Mgr Yakobus Groof Pr, ditunjuk pimpinan Tertinggi Gereja menjadi Vikaris Apostolik I. Tugas ini diembannya tahun 1842-1846. Sebelumnya beliau bertugas di Suriname dan banyak merawat orang yang sakit kusta. Ketika datang, Mgr Groof disertai empat pastor Praja. Akan tetapi karena kedatangan mereka tidak disertai surat radicaal (surat resmi dari pemerintah Belanda yang digunakan untuk "bekerja" di Hindia Belanda), maka para pastor tidak bisa diangkat sebagai pegawai pemerintah. Keadaan ini melahirkan perselisihan antara Mgr Groof dengan Gubernur Jenderal Rochussen.

1846
• Februari 1846, Mgr Yakobus Groof Pr dengan empat imam baru itu "dipulangkan" ke Belanda. Beliau bertugas kembali di Suriname sampai wafatnya 1852.

1847
• 4 Juni 1847, Mgr Petrus Maria Vrancken Pr ditunjuk Vatikan (Paus Pius IX) menjadi Vikaris Apostolik II. Tugas ini diembah tahun 1847-1874. Pada masa itu, banyak Ordo dan kongregasi mulai berdatangan ke Nusantara dan mengahdikan diri pada berbagai kegiatan seperti pendidikan, rumah sakit dan sebagainya. Salahsatunya adalah pada 7 Februari 1856, tujuh suster pertama mendarat di Jakarta untuk memulai karya. Beliau juga yang merintis Perhimpunan Vincentius a Paulo (31 Mei 1856), sebuah perhimpunan untuk karya social.

1871
• Mgr Vrancken Pr terpaksa cuti ke Belanda karena sakit, tidak kembali. Untuk mengisi kekosongan, Pastor AC Claessens Pr, ditunjuk sebagai Provicaris.

1874
• 16 Juni 1974, Mgr Adamus Carolus Claessens Pr, diangkat menjaid Vikaris Apostolik III (1874-1893). Pada 23 Mei 1893, beliau mengundurkan diri sebagai Vikaris Apostolik dan digantikan oleh Mgr W Staal SJ.

1893
• 23 Mei 1893, Mgr Walterus Staal SJ diangkat oleh Paus Leo XIII sebagai Vikaris Apostolik IV (1893-1897) menggantikan Mgr AC Claessens Pr yang meletakkan jabatan. Pada 30 Juni 1897, Mgr WY Staal SJ meninggal di atas kapal ketika sedang melayani umat di kawasan Laut Banda Maluku, dalam usia 58 tahun.

1898
• 21 Mei 1898, Mgr Edmundus Sybrandus Luypen SJ diangkat menjadi Vikaris Apostolik V (1898-1923) oleh Paus Leo XIII. Pada saat itu, wilayah Indonesia mulai dibagi dalam beberapa wilayah Gerejawi. Tanggal 1 Mei 1923, Mgr ES Luypen meninggal.
• Pada masa Mgr Luypen menjadi Vikaris Apostolik Batavia, Suster Tarekat Carolus Borromeus membuka rumah sakit Sint Carolus (20 Januari 1919).
• Mgr Luyven SJ memberkati gereja Katedral Jakarta pada 21 April 1901. Gereja ini dirancang oleh Pastor Antonius Dijkman. Peletakan batu pertama oleh Pastor Carolus Wenneker, dengan arsitek Marius Hulswit

1924
• Mgr Antonius van Velsen SJ, Vikaris Apostolik VI (1924 -1933)
• Pada masa Mgr Velsen SJ menjadi Vikaris Apostolik, berdiri Perkumpulan Strada (24 Mei 1924).

1934
• 23 Juli 1934, Mgr Petrus Willekens SJ menjadi Vikaris Apostolik VII (1934-1952)

1953
• 18 Februari 1953, Mgr Adrianus Djajasepoetra SJ, Vikaris Apostolik Jakarta VIII. 'I'ugas ini diembannya tahun 1953-1970. Selama menjadi Vikaris Apostolik, wilayah Gerejawipun berkembang makin pesat.
• Ketika jaman pendudukan Jepang, ketika bertugas sebagai imam muda di Kota Baru dan Pugeran, beliau pernah ditahan Jepang selama 2 tahun.
• Tahun 1960, beliau ikut mendirikan Universitas Katolik Atmajaya Jakarta. Saat itu masih menggunakan halaman sekolah Santa Ursula.

1961
• 3 Januari 1961 Paus Yohanes XXIII membentuk hirarki di Indonesia. Vikariat Apostolik Jakarta menjadi Keuskupan Agung. Uskup Agung pertama yaitu Mgr A Djajasepoetra SJ.

1970
• 15 Agustus 1970, Mgr Leo Soekoto SJ, rnenggantikan Mgr A Djajasepoetra SJ yang mengundurkan diri sesudah ada bulla (surat pemherhentian dan pengangkatan resmi dari Vatikan). Dengan demikian, Mgr Leo Soekoto menjadi Uskup Agung kedua, di Keuskupan Agung Jakarta. 30 Desember 1995, Mgr Leo meninggal dunia di RS Sint Elisabeth Semarang. Beliau dimakamkan di Girisonta 1 Januari 1996.

1996
• 29 Juni 1996, Mgr Julius Darmaatmadja SJ diangkat menjadi Uskup Agung Jakarta.Catatan:1. Prefek Apostolik adalah imam yang memimpin suatu wilayah Gerejani di daerah misi yang baru mulai berkembang dan diharapkan di kemudian hari dapat berdiri sendiri sebagai keuskupan.2. Vikaris Apsotolik adalah imam yang memimpin wilayah dalam Gereja Katolik yang belum cukup berkembang menjadi keuskupan yang swadaya.

Sumber:
1. Percetakan Arnoldus Ende Flores, G Vriens SJ, Sejarah Gereja Katolik Indonesia Jilid II, ercetakan Arnoldus Ende Flores, 1972
2. KAJ, Menggereja di Jakarta dan Sekitarnya Pada Tahun 2000, PT Gramedia, 1991
3. KAJ, Gereja Katolik Indonesia Mengarungi Zaman, KAJ, 1995
4. CLC, Ensiklopedi Gereja, Adolf Heuken SJ, 1995
5. Buku Katalog Keuskupan Agung Jakarta, 2002YS Setiadi

Yohannes Sugiyono Setiadi

Menampilkan Wajah Yesus di Dunia Maya


Koran KOMPAS (24/10/07) memberitakan tentang internet di ruang angkasa. Di koran yang sama (29/10/07) kembali di halaman utama, diberitakan internet merambah ke pedesaan. Dalam berita itu ditulis, Paroki Sumber di lereng gunung Merapi telah menggunakan internet untuk “mempromosikan” keberadaannya. Mas Anton Wijayanto sang administrator ketika saya hubungi menyampaikan. “Ini ide cemerlang Romo Kirjito yang ingin juga mengangkat harkat masyarakat setempat yang umumnya petani sederhana,” demikian ungkapnya. Website bisa dilihat di www.egspi.blogspot.comTahta Suci Vatikan membuka websitenya di www.vatican.va. Dua hari setelah alamat email Paus Benedictus XVI (benedettoxvi@vatican.va) diumumkan (April 2005), 56191 email masuk ke inbox beliau. Pengirimnya didominasi oleh kaum muda. Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), menyiapkan e-news di www.mirifica.net. Tiap hari tak kurang dari 1500 orang membuka website ini. Berita-berita seputar Gereja ada disini. Dari dalam negeri juga luar negeri. Sementara untuk mengenal lebih dekat “Penggembalaan Para Uskup” di negeri ini, KWI membuka websitenya di www.kawali.org. Di tingkat keuskupan tak ketinggalan. Beberapa yang penulis catat telah memiliki website adalah KAJ, Bogor, Pangkalpinang, Semarang dan Purwokerto.Untuk mewartakan tulisan/buah pikirannya, Pastor Mardiatmadja SJ, Vikep KAJ membangun website di www.mardiatmadja.org. Dimotori para penyandang cacat tunanetra, Biro Tunanetra Laetitia LDD KAJ, membangun websitenya di www.btl-ldd.org. Tidak melihat bukan halangan untuk berkarya dan memperkenalkan karya mereka sambil mengajak kita untuk peduli dengan para penyandang cacat.Bagaimana dengan paroki-paroki di KAJ? Paroki tetangga, Santo Yohanes Bosco Sunter Danau misalnya. Walaupun baru berusia lima tahun sudah memiliki website yang informatif. Bahkan kita dapat men”download” majalah periodiknya Bosconian. Paroki Santa Maria Tangerang, cukup kreatif menampilkan profil parokinya lewat www.santamaria.or.id. Salahsatu menu yang ditampilkan adalah “Halo Romo”. Umat atau siapapun yang merasa punya uneg-uneg atau pertanyaan bisa menumpahkannya di menu ini.Bagaimana dengan paroki yang belum punya gedung sendiri? Stasi Harapan Indah, Santo Albertus. Websitenya dibangun dengan dua bahasa, bahasa Indonesia dan Inggris. Upaya menghimpun dana pembangunan gedung dan pertanggungjawabannya juga menggunakan media ini. Paroki Kalvari Lubang Buaya yang untuk menyelenggarakan Misa masih menggunakan bedeng, juga memiliki website di www.kalvari.org. Sudah belasan tahun berjuang untuk memperoleh ijin. Ditengah “kelelahan” mereka, tapi masih sempat untuk memanfaatkan internet untuk menampilkan wajah paroki dan menyapa umatnya. Foto-foto yang sarat “pesan bicara” menghiasi website paroki di bilangan Jakarta Timur ini. Diujung barat Jakarta, ada Paroki Santo Laurensius yang juga telah membuka websitenya di www.st-laurensius.org. Paroki di Serpong inipun belum memiliki gedung gereja. Lembaga-lembaga Gerejani lain, mulai dari sekolah, radio, kongregasi, seminari, kelompok kategorial telah menggunakan website untuk menyampaikan pesan, visi, misi dan pelayanan yang mereka lakukan. Media ini juga dimanfaatkan oleh tarekat untuk mendukung “promosi” aksi panggilan. Misalnya www.crosspapua.wordpress.com, website milik kongregasi OSC di Papua. Atau www.provindo.org milik Yesuit Indonesia dan masih banyak yang lain.Pendek kata, semua yang disebut diatas ingin menyampaikan satu pesan. Yang utama adalah pewartaan. Tidak semua yang datang mengunjungi website milik lembaga Gerejani adalah umat Katolik. Bagaimana dengan paroki kita? Paroki Santo Yakobus Kelapa Gading telah memiliki website di www.yakobus.or.id. Tapi sayang dukungan yang diberikan umat masih dirasakan kurang. Upaya keras pengelola dan ajakan untuk mewujudkan website yang “hidup” masih kurang memperoleh respon. Tentu saja ada harapan besar agar website paroki kita dapat berkembang. Memberitakan kemajuan paroki kita lewat media online. Umat dapat saling menyapa tanpa terikat waktu dan tempat, mensharingkan pengalaman imannya.Seorang rekan yang juga staf ahli di Komsos KWI dalam diskusi terbatas dengan penulis menuturkan. “Sepertinya perlu dibentuk kelompok kategorial baru yaitu tenaga IT (teknologi informasi),”. Sama dengan WK, PDKK, atau Mudika. Kategorial ini terdiri dari orang-orang yang mau (dan tentu mampu) menyumbangkan tenaga dan pikirannya untuk pengembangan teknologi informasi bagi kemajuan parokinya. Sementara itu dari polling yang dilakukan www.mirifica.net, tercatat hampir 25% pengunjung situs itu adalah kaum muda. Di sisi lain kaum muda juga adalah “tenaga ahli” yang potensial untuk mengembangkan pemanfaatan internet di paroki. Usul rekan diatas perlu juga dipertimbangkan di paroki kita. Mengajak kaum muda untuk bersama-sama ikut juga menampilkan “wajah Kristus” di dunia maya.Mengakhiri tulisan ini saya ingin mengutip pesan Paus Yohanes Paulus II dalam rangka Hari Komunikasi Sedunia ke 36 Tahun 2002. Dengan tema “Internet: Forum Baru bagi Pewartaan Injil” diantaranya Sri Paus menyampaikan pesannya sebagai berikut.“Di internet wajah Kristus perlu tampil juga. Internet menampilkan bermilyar-milyar gambar di jutaan monitor komputer di seluruh jagad. Dari galaksi gambar dan suara akan tampilkah wajah Kristus dan terdengarkankah suara-Nya? Karena hanya kalau wajahnya terlihat dan suaranya terdengarkan, dunia akan mengetahui kabar gembira dari penebusan kita. Inilah tujuan pewartaan Injil. Dan inilah yang akan menjadikan internet sebuah ruang kemanusiaan yang sejati, karena kalau tidak tersedia ruang untuk Kristus, tidak akan ada ruang untuk manusia”Namun Bapa Suci juga mengingatkan kita, bahwa pemanfaatan internet tetap tidak bisa menggantikan kontak personal yang diperlukan dalam penginjilan yang sejati.Dalam pesan penutupnya Sri Paus juga menulis: “Oleh karena itu, pada Hari Komunikasi Sedunia ini, saya dengan tegas memutuskan untuk mengundang seluruh Gereja untuk dengan berani melintasi ambang pintu yang baru ini, untuk mengayuh ke kedalaman Jaringan (Net) ini, sehingga sekarang sebagaimana dulu interaksi antara Injil dan budaya dapat memperlihatkan kepada dunia kemuliaan Allah di wajah Kristus" (2 Kor 4:6). Semoga Tuhan memberkati semua yang berkerja demi tujuan ini.Berkat untuk anda yang setia dalam pelayanan dan berusaha memanfaatkan fasilitas internet demi tujuan “Menampilkan Wajah Kristus” kepada semua umat manusia di jagad ini. Semoga.

Catatan: foto diatas adalah Aris (tunanetra) yang dengan program "Jaws"nya (komputer berbicara) sedang mengupload website milik BTL-LDD KAJ

Yohannes Sugiyono Setiadi

Mengenal Santo Andreas Kim Tae Gon


Santo Andreas Kim Tae Gon dilahirkan 21 Agustus 1821, di Solmoe, kabupaten Tangjin Gun. Ayahnya bernama Kim Je Jun dan ibunya Ursula Ko. Tahun 1828, keluarga ini pindah Kolbaemasil Namkokri, daerah Yongin Gun, propinsi Kyungki. Alasannya, keluarga ini jatuh miskin.Pada tahun 1836, Pastor Maubant memutuskan untuk mengirim 3 orang pemuda Korea ke Makau untuk belajar tentang peradaban Barat dan Katolik. Satu diantara pemuda itu adalah Kim Tae Gon. Dua lainnya adalah Choi Yang Up dan Choi Bang Je. Selama belajar di Makau, ketiga pemuda ini sempat juga menimba ilmu di Filipina. Tahun 1838 Choi Bang Je meninggal dunia. Kim Tae Gon mempelajari tentang teologi, filsafat dan ilmu pengetahuan Barat. Kim Tae Gon fasih berbicara bahasa Inggris, Perancis, Spanyol dan China. Selesai dengan studinya. Kim ingin kembali ke negeri asalnya Korea. Namun itu bukan hal mudah. Beberapa kali ia mencoba menyeberangi perbatasan Cina – Korea, tapi gagal.Tak kehilangan akal, Kim ke Mongolia dengan harapan dapat bertemu dengan utusan Korea yang datang ke Beijing. Akhirnya ia berhasil bertemu dengan seorang Katolik Korea. Dari situ ia mendengar bahwa semua pastor dan orang-orang Katolik di bunuh, Dia juga mendapat kabar bahwa ayahnya juga dibunuh karena mengirim dia ke Makau, dan ibunya Ursula Ko kini menjadi pengemis. Beberapa penyiksaan memang sudah berakhir, tetapi orang-orang Katolik masih diliputi perasaan takut dan ngeri, karena banyak dari orang Katolik yang menjadi tawanan di penjara. Mendengar itu Kim benar-benar ingin masuk ke Korea kembali, tetapi situasi di Korea sangat tidak memungkinkan dia untuk melewati perbatasan. Satu saat, akhirnya Kim Tae Gon bertemu dengan Uskup Ferreol di China. Ia kemudian di tahbiskan sebagai deakon pada bulan Desember 1844 di China dan kemudian ditahbiskan sebagai pastor pada tanggal 17 Agustus 1845 oleh Uskup Ferreol di Shanghai, China.Pada bulan Januari 1845, dia berhasil tiba di Seoul seorang diri, tapi ia tidak menemui ibunya yang telah menjadi miskin. Untuk mencegah bahaya ketahuan, ia kembali ke China lagi dengan 11 orang Katolik dari Korea dengan perahu kecil. Dalam perjalanan panjang di lautan, perahu yang ditumpangi Kim dan rombongannya kerap diterjang angin topan. Makanan dibuang ke laut untuk membuat perahu menjadi ringan, hingga mereka tidak mempunyai makanan sedikitpun selama 3 hari 3 malam. Kepada orang-orang di perahu yang berteriak-teriak ketakutan, Kim Tae Gon mengeluarkan gambar Bunda Maria untuk menenangkan dan memberikan mereka semangat. Dia sendiripun saat itu sakit dan takut, tetapi itu tidak ditunjukkannya.Pada 12 Oktober 1845, Kim tiba di Nabawi, daerah Iksan, daerah barat daya bersama Uskup Ferreol dan Pastor Daveluy. Perjalanan yang melelahkan selama 42 hari menyeberangi Sungai Kuning di ShangHai China, dilakukan hanya dengan perahu kecil. Sesampainya di Korea, ia bekerja sebagai pastor di beberapa tempat selama 6 bulan saja.Di saat yang bersamaan, ia mencoba untuk mengenalkan misionaris dari Perancis yang sedang menunggu di China untuk masuk ke Korea. Dia mempersiapkan peta perjalanan dan sebagainya, dan pergi ke pulau Yonpyong untuk menghubungi nelayan China yang bisa mengawal mereka dan memberitahukan mereka tentang Gereja Korea kepada misionaris dari Perancis saat di China. Kim ditangkap di pulau Sunwido dan dikirim ke Haeju dan kemudian ke Seoul. Hidup Kim TaeGon berakhir di usia 25 tahun. Hidup yang sangat singkat tapi ia dipuja-puja dimana-mana dan dicintai karena pengetahuannya yang luar biasa, keyakinannya yang sangat kuat dan kotbahnya yang menyakinkan. Pastor Kim Tae Gon dihukum mati pada tanggal 15 September 1846 atas perintah langsung raja. Ia dipenggal dan kepalanya di pertontonkan di Sae Naem To pada16 September 1846. Sebelum ia dipenggal, ia memberikan pesan singkatnya:"Saat terakhir hidup saya ada di tangan. Dengarlah saya baik-baik. Ini demi kebaikan Gereja dan Tuhan bahwa saya berhubungan dengan orang-orang asing. Sekarang saya mati menurut Kehendak Tuhan. Dan saya akan memulai kehidupan baru saya. Menjadi seorang Kristiani adalah jika kamu ingin memperoleh kehidupan yang abadi setelah kematianmu. Tuhan akan menghukum mereka yang tidak mengenal dan mencinta Dia." Para algojo kemudian melucuti pakaian Pastor Kim, menusuk telinganya dengan panah, menyiraminya dengan air dan melempari mukanya dengan bubuk gips, meletakkan tongkat diantara tangannya yang terikat kebelakang dan mengangkatnya ke bahu mereka dan mengelilinginya dengan tiga lapis tentara. Mereka memaksa Pastor Kim untuk berlutut dan menarik rambutnya melalui lubang pada tiang bendera. Ketika tali di tarik, kepala Pastor Kim terangkat. Pastor Kim mengatakan pada para algojo. "Apakah posisi kepala saya sudah tepat untuk di penggal? Jika ya, saya sudah siap, penggallah kepala saya." Segera setelah beliau selesai bicara, ke 12 algojo menari mengelilingi dia dengan pedang di tangan seakan-akan seperti sedang berperang. Satu persatu menebas leher Pastor Kim dan kepalanya jatuh ke tanah pada tebasan yang ke delapan. Kepala seorang kriminal biasanya digantung di ujung tiang dan tubuhnya dibiarkan disamping tiang selama 3 hari sesuai dengan peraturan pemerintah setempat saat itu. Tapi itu tidak dilakukan untuk jasad Kim. Tubuh Pastor Kim segera dikuburkan di tempat pemenggalan itu dan dijaga oleh para tentaraTigapuluhtiga hari kemudian, Min Sik Yi yang tinggal di dekat sana di daerah Kolbaemasil di daerah Yong-In, berhasil menggali kubur Pastor Kim pada malam hari, dengan di awasi oleh para tentara. Dia menggendong jenasah Pastor Kim ke Mirinae, desa tempat asalnya. Perjalanan yang berjarak 60 km itu memakan waktu 7 hari, karena ia hanya bisa melakukannya saat malam hari.Uskup Ferreol juga di”martyr” pada tahun 1853 dan dikubur disamping Pastor Kim sesuai dengan keinginannya. Uskup Ferreol pernah mengatakan, "Kalian tidak akan pernah tahu bagaimana sedihnya saya kehilangan pastor daerah yang muda ini. Saya mencintai dia seperti seorang ayah yang mencintai anaknya. Ini suatu penghiburan bagiku untuk memikirkan kebahagiaan abadinya."Kim Tae Gon adalah salahsatu dari 103 martir di Korea (1839-1867). Juga 10 misionaris dari Perancis (3 uskup dan 7 imam) yang dibunuh karena mempertahankan keyakinan imannya. Tahun 1984, Andreas Kim Tae Gon dinyatakan sebagai orang kudus oleh Paus Yohanes Paulus II, bertepatan peringatan 200 tahun Gereja Katolik di Korea.

(Yohannes Sugiyono Setiadi / naju-mary.org)